Selamat Datang

Selamat Datang Teman - Teman Pelajar Dimanapun Anda Berada .Trimakasih Sudah mau Berkunjung Di Blog SMA Negeri 2 Bagan Sinembah.Riau ini.Selamat Menikmati Sajian yang ada Di BlOg Ini Yang Masih Belum Sepenuhnya Sempurna.

Rabu, 09 Desember 2009

GURU KREATIF, ANAK PUN KREATIF

GURU KREATIF, ANAK PUN KREATIF


Jika sekarang ini banyak sekolah Dasar yang mengaku menjadi unggulan, hal itu bukan jaminan bahwa dengan bersekolah di sana anak kita akan tumbuh jadi manusia kreatif. "Bangunan yang megah, status sekolah terjamin, kurikulum berstandar internasional, sarana dan prasarana lengkap, pelayanan bagus, sekolah terkenal, hingga mahalnya biaya pendidikan, semua itu hanyalah faktor pendukung," tukas Dra. Rose Mini A.P, M.Psi.

"Justru yang jadi penentu utama apakah anak didik jadi kreatif atau tidak adalah SDM atau guru di sekolah. Jika gurunya tidak kreatif, bagaimana bisa anak didiknya jadi kreatif? Ingat, lo, pola pikir anak di usia 6-12 tahun masih konkret operasional dan meniru."

Salah satu ciri pendidik yang baik dan memperhatikan perkembangan kreativitas anak, menurut psikolog dari Taman Kreativitas Anak Indonesia, yang akrab disapa Romi ini, adalah kesediaannya menerima masukan dan kritikan, sekalipun itu datangnya dari anak didik. Toh, guru bukanlah dewa yang selalu benar.

CIRI GURU KREATIF

Guru yang peduli terhadap perkembangan kreativitas juga memiliki metode mengajar yang tidak searah dan multidimensional. Ia tidak akan membuat soal dengan hanya satu jawaban benar; saat mengajar ia tidak hanya menulis atau membaca buku di depan kelas lalu melempar pertanyaan kepada anak; ia juga tidak semata-mata membuat kuis dan PR setiap hari, serta tidak mencekoki anak hanya dengan teori, tapi juga menjelaskannya dengan praktek dan alat peraga. Itu karena ia paham benar, anak usia sekolah masih berada dalam tahap perkembangan konkret operasional.

Tugas-tugas yang diberikan guru pun tidak melulu menuntut jawaban di atas kertas, melainkan dengan pembuktian. Contohnya, "Sekarang coba buktikan kalau angin itu adalah udara yang bergerak." Dengan demikian anak akan berpikir setelah mendengarkan penjelasan guru. "Apalagi, ya, yang bisa membuktikan angin itu udara yang bergerak. Tadi Pak Guru mencontohkan pohon yang bergerak-gerak." Saat itu mungkin saja anak akan berpikir, "Kalau aku sobek kertas ini kecil-kecil dan aku kipas-kipas, itu juga bisa membuktikan bahwa angin adalah udara yang bergerak," atau "Kalau begitu aku kentut saja. Pasti akan tercium oleh teman di sebelahku dan oleh Pak Guru di depan kelas," misalnya.

Jadi, guru harus bisa memancing minat murid dengan stimulus tertentu agar mereka bebas berimajinasi dan bereksperimen. "Untuk itu, guru SD pun harus punya daya imajinasi, supaya bisa memancing dan memberi contoh kreatif pada anak didiknya. Ingat, imajinasi adalah syarat mutlak kreativitas," tandas Romi.

Tentunya untuk bisa memancing minat anak, penggunaan bahasa oleh guru juga tidak boleh asal. "Bahasa dan gaya bahasa yang digunakan jangan datar,"
lanjutnya. Misal, "Sekarang kita akan belajar sejarah. Tapi sebelumnya kita bagi peran dulu. Bapak jadi naratornya, peran lainnya kalian bagi-bagi sendiri." Jika seperti itu, selain merasa dihargai dan tertarik memberikan tanggapan, anak juga tertantang membuat cerita dan menjadi tokoh yang sedang dibahas dalam pelajaran tersebut. Disamping itu, cara bicara dan pembawaan guru di sekolah juga harus baik. "Ia juga harus dekat dengan anak, bisa jadi teman, orang tua, sekaligus guru."

MENGAJAR BERDASARKAN KESEPAKATAN

Seperti disinggung di atas, kurikulum yang dijabarkan menjadi mata pelajaran, menurut Romi bukanlah patokan baku untuk bisa membuat murid kreatif. "Memang idealnya, anak boleh memilih mata pelajaran yang dia sukai. Namun karena di sini belum semua sekolah memungkinkan itu, sebagai solusinya, gurulah yang harus kreatif dalam memodifikasi mata pelajaran dan jadwalnya.

Misal, dengan mengadakan kesepakatan di kelas pelajaran apa yang akan dibahas pertama kali di esok hari, atau siapa yang akan melakukan presentasinya pertama kali saat pelajaran IPA berlangsung. Bisa juga anak melakukan sidang kelas untuk menentukan apa-apa saja yang ingin dibahas atau diketahui dari materi pelajaran IPS nanti siang. Keputusan sidang itulah yang harus dilaksanakan guru.

Orang tua juga bisa menilai kreativitas guru dari kerjasama antarmereka dalam merumuskan tugas bagi anak didik.

Dalam sebuah tugas akan termuat materi pelajaran dari berbagai bidang studi, seperti matematika, IPA, bahasa, dan keterampilan. "Guru borongan yang biasanya mengajar di kelas 1,2,3 SD juga bisa memberikan tugas seperti itu, bahkan jadi lebih gampang." Contohnya, tugas membuat pembuktian mengenai angin topan melalui presentasi di depan kelas.

Tugas seperti itu mendorong anak menjadi kreatif, karena anak harus berburu informasi mengenai angin topan dengan caranya sendiri, membuat maket, hingga mencari jalan supaya orang lain percaya dengan pembuktiannya. Menurut Romi, jika pengajaran yang dilakukan guru itu kreatif, apalagi sampai melibatkan unsur afektif, kognitif, dan psikomotor, maka materi pelajaran yang diberikan biasanya lebih melekat. Anak juga tidak lagi terbebani dengan beragamnya tugas. "Malah, bisa jadi anak yang tadinya tidak suka dengan pelajaran tertentu, setelah tugas-tugasnya digabung lalu jadi suka."

FASILITAS SEBATAS PENUNJANG

Sarana dan prasarana juga bukan hal pokok dalam membuat anak kreatif. Memang akan baik jika sekolah mempunyai berbagai mainan dan alat peraga yang digunakan sesuai usia anak. Untuk anak kelas 1-2, misalnya, yang sebaiknya digunakan adalah mainan yang konkret. Untuk kelas 2-4 bentuk mainannya bisa agak abstrak. Sedangkan untuk kelas di atasnya sudah bisa digunakan alat peraga belajar.

Sekolah tempat anak kita mengecap pendidikan formal idealnya memang memiliki arena kegiatan luar ruang, perpustakaan, laboratorium (Bahasa, IPS, IPA, Matematika), sarana olahraga, auditorium, dan ruang seni. "Namun demikian, semua itu hanya penunjang semata," ulang Romi. "Meskipun fasilitas sekolah itu serbaideal dan berstandar internasional, akan percuma jika guru-gurunya tidak kreatif dalam mengajar dan berinteraksi dengan murid, atau mengajar dengan cara kuno dan monoton."

Terakhir, jumlah murid dan perbandingan guru dalam satu kelas pun, menurut Romi, merupakan salah satu faktor penunjang anak didik menjadi kreatif. Idealnya kelas 1 sampai 3 atau 4 yang masing-masing terdiri atas 25 murid harus didampingi 2 guru. Untuk kelas yang lebih tinggi, pengawasannya bisa lebih longgar, yaitu 1 guru untuk 25 murid.

Dengan demikian, tidak masalah jika kita menyekolahkan anak di sekolah yang fasilitasnya pas-pasan. Yang penting, guru-gurunya mengerti tahapan perkembangan anak dan menerapkan metoda pengajaran yang memberi peluang pada kreativitas.

Gazali Solahuddin. Foto: Dok. nakita

1 komentar: